Wednesday, November 24, 2010

LAWATAN KETURUNAN RADEN PANJI KE KEDIAMAN PUTRI ANIS

KETURUNAN RADEN PANJI PENYAMBUNG SALASILAH KETURUNAN

Melakar sejarah bersama RTPA (Sri Ratu Saadong Vii)

Pada bulan Oktober baru-baru ini , Putri Anis telah dikunjungi oleh keturunan Raden Panji yang tinggal di daerah Kota Bharu , Kelantan .Beliau merupakan bekas pensyarah Maktab Perguruan Kota Bharu yang dikenali dengan nama Ustaz Haji Ghazali dan isteri yang merupakan keturunan penerus Raden Panji . Pertemuan ini diadakan di kediaman rasmi keluarga Putri Anis yang terletak di Pengkalan Chepa , Kelantan. Pertemuan yang dimulai dengan imbauan sejarah keturunan melakar episod mendalam kerana ternyata Ustaz Ghazali adalah titihan sama dari trah Prabu Silihwangi , Raja Padjajaran yang tersohor lagi sakti secara kebetulam mempunyai salasilah sama dengan Putri Anis . Perbahasan yang mengambil masa 4jam ini dimulai jam 9 pagi hingga waktu zuhur memberi impak positif kerana Ustaz Ghazali juga merupakan orang yang serba pengalaman dalam bidang tauhid dan sejarah . Jadi pengalaman tersebut membuatkan mereka agak laju berbicara berkenaan keturunan dan pelbagai persoalan . Putri Anis berharap wacana mengenai Raden Panji dapat diperluas di kalangan masyarakat khususnya kepada keturunan yang mngetahui serba sedikit latar belakang sejarah ini . Ini adalah penting untuk dibahaskan agar nama Raden Panji tidak pernah luntur sebagai titisan Jawa Timur khususnya dan sudah pasti keturunannya menyebar ke merata tempat hingga ke hari ini .

(Kutipan Buku Sundakala karangan Prof. Ayatrohaedi)


Salah satu ciri bangsa yang kuat adalah penghayatannya kepada sejarah, karena penghayatan kepada sejarah bangsa akan memperkuat jatidiri bangsa yang bersangkutan. Buku-buku sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-12 di Nusantara pernah berdiri Negara Majapahit yang wilayahnya melampaui luas NKRI saat ini. Negara Majapahit itu didirikan oleh Raden Wijaya atau Sanggrama Wijaya. Kisah menarik Majapahit bukan saja tentang luasnya kekuasaan dan tingginya peradaban yang telah dicapai, namun ada juga sepenggal cerita tragis yang disebut-sebut sebagai ‘aib sejarah’ sehingga sejarawan yang hidup kala itu, Mpu Prapanca, tidak sudi menuliskannya dalam buku karangannya yang tersohor, Nagara Kertagama.

Kisah tragis itu dikenal sebagai ‘Palagan Bubat’ atau ‘Perang Bubat’ yang terjadi tahun 1357 menurut naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara sarga ke-3 halaman 119--127. Bubat adalah nama sebuah lapangan di wilayah Majapahit. Konon sepuluh abad yang lalu di Bubat, pernah terjadi perang antara tentara Majapahit dan Galuh (Galuh adalah kerajaan di wilayah Jawa Barat bagian Timur, sedangkan Sunda adalah kerajaan di wilayah Jawa Barat bagian Barat. Raja Sunda kala itu membagi kembali kerajaan Sunda menjadi Sunda dan Galuh).

Kisah Palagan Bubat dimulai dari keberangkatan rombongan mempelai wanita, yang terdiri dari Raja Galuh, sang mempelai, beberapa petinggi kerajaan, dan sepasukan tentara pengawal dari Galuh ke Majapahit. Kala itu, sudah merupakan tradisi perkawinan apabila mempelai wanita diboyong ke pihak mempelai pria yang bertahta sebagai raja. Bagi pihak Galuh, kedatangan ke Majapahit bukan saja sebagai ‘nganten’, namun lebih dari itu, yakni silaturrahmi kepada keluarga sendiri.

Klimaks kisah Palagan Bubat dimulai ketika rombongan Galuh beristirahat di wilayah Bubat untuk persiapan upacara penyambutan esok harinya. Tiba-tiba atas perintah Maha Patih Majapahit yang bernama Gajah Mada, rombongan Galuh diultimatum untuk menanggalkan segala senjata dan masuk ke Kotaraja sebagai taklukan (Sunda-Galuh bagi Gajah Mada adalah satu-satunya kerajaan Nusantara yang belum ditaklukkan). Ultimatum Gajah Mada ditolak. Rombongan Galuh yang jumlahnya tak seberapa itu memilih perang hingga mati daripada terhina. Maka pecahlah Palagan Bubat, darah tertumpah di Bubat. Dari pihak Galuh tak ada satupun yang hidup. Semua tentara, semua pejabat, bahkan Raja dan sang calon mempelai wanita pun ikut tewas.

Kisah Palagan Bubat sedemikian jauh amat melukai perasaan keluarga raja di Galuh dan Sunda. Bahkan menurut beberapa sumber, konon keluarga raja Majapahit, termasuk Sang Prabu Hayam Wuruk, pun menyesalkan peristiwa Palagan Bubat tersebut. Lalu bagaimanakah kisah Gajah Mada selanjutnya? Riwayat Gajah Mada pasca peristiwa berdarah itu tidak jelas ditulis oleh para sejarawan. Di Pihak Galuh dan Sunda, diantara sisa-sisa luka lama itu masih dapat dijumpai, yakni hingga detik ini tidak dijumpai nama jalan Majapahit, Hayam Wuruk, apalagi Gajah Mada di pelosok wilayah propinsi Jawa Barat !

Perang Bubat tak lain adalah perang saudara. Hubungan darah antara raja Sunda, Galuh, dan Majapahit rupanya tak diketahui oleh Gajah Mada. Ketidaktahuan ini merupakan salah satu petunjuk bahwasanya Gajah Mada bukanlah berasal dari kalangan kerabat istana, beliau benar-benar seorang prajurit yang merintis karier dari derajat yang paling bawah.

Hubungan darah antara Sunda, Galuh, dan Majapahit kami jelaskan sebagai berikut :

Raja Singhasari yang berkuasa pada waktu itu, Prabu Wisnuwardhana, mengawinkan Jayadharma dengan salah seorang kemenakannya yang bernama Dewi Singhamurti atau Dyah Lembu Tal, anak Mahisa Campaka. Dari perkawinan itu lahirlah Sang Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya yang kelak mendirikan kerajaan Majapahit.

Jayadharma, ayah Raden Wijaya, adalah kakak kandung Prabu Ragasuci, keduanya adalah putra Prabu Guru Dharmasiksa atau Sanghyang Wisnu yang bergelar Sang Paramartha Mahapurusa (memerintah kerajaan Sunda selama 122 tahun antara 1175—1297 masehi). Jayadharma adalah putra mahkota, namun wafat sebelum menjadi raja. Maka seandainya Jayadharma tidak mati muda, kemungkinan besar yang menjadi raja Sunda selanjutnya adalah Raden Wijaya. Sepeninggal Jayadharma, Raden Wijaya bersama ibundanya, Dyah Lembu Tal, diboyong kembali ke Singhasari.

Hubungan perkerabatan Sunda – Singhasari diperkuat lagi dengan pernikahan Dara Kencana anak Prabu Ragasuci (yang berarti adalah sepupu Raden Wijaya dari pihak ayah) dengan raja Singhasari berikutnya, yakni Kertanegara (yang adalah paman Raden Wijaya dari pihak ibu).

Ketika Wijaya menjadi raja Majapahit yang pertama, kakeknya, Sang Prabu Guru Dharmasiksa, sempat memberinya seberkas nasehat, yakni agar jangan sampai mempunyai niat untuk menyerang, apalagi menaklukkan kerajaan Sunda karena dua kerajaan itu sungguh-sungguh adalah bersaudara, dan bahwasanya Majapahit dan Sunda hendaklah saling bahu membahu, tolong-menolong, serta mempererat silaturrahmi.


KETURUNAN SUNDA MENJADI RAJA MAJAPAHIT 

AKIBAT psikologis dari peristiwa Bubat yang seperti sengaja ditutupi itu, sampai sekarang menjadikan masyarakat Sunda secara umum memiliki asumsi bahwa dalam peristiwa Bubat itu Raja Sunda beserta seluruh rombongannya gugur tak bersisa. Timbulnya asumsi semacam itu dapat dipahami karena sejak pecahnya peristiwa memilukan tersebut hubungan Majapahit dengan Sunda dapat dikatakan terputus.
Apa yang terjadi di Majapahit tidak banyak diketahui pihak Sunda, demikian sebaliknya. Namun di balik semua asumsi tentang habis tanpa sisanya rombongan Sunda dalam peristiwa Bubat, perlu dilakukan penelitian untuk memperjelas apakah asumsi tersebut memiliki dasar yang bisa dibenarkan secara historis.Lepas dari benar dan tidaknya asumsi-asumsi seputar habisnya, rombongan Raja Sunda dalam peristiwa Bubat, di tengah masyarakat Jawa berkembang cerita-cerita lisan dan catatan historiografi -yang disertai silsilah genealogi keluarga-keluarga bangsawan keturunan Majapahit yang mengaitkan genealogi sejumlah keluarga feodal Jawa dengan orang-orang Sunda yang terlibat dalam peristiwa Bubat.
Cerita-cerita itu berkembang secara turun-temurun di dalam kelu-arga-keluarga yang memiliki hubungan dengan raja-raja Majapahit akhir, terutama keturunan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451) yang masyhur dikenal dengan nama Prabu Brawijaya V.Dalam naskah "Tedhak Poe-sponegaran" (catatan silsilah genealogis keturunan Kyai Tumenggung Poespanegara, Bupati Gresik pertama, 1688-1696) diperoleh penjelasan bahwa Kiai Tumenggung Poespanegara adalah keturunan kesepuluh Maharaja Majapahit Sri Prabu Kertawijaya.
Dijelaskan dalam naskah tersebut bahwa Sri Prabu Kertawijaya adalah putra Prabu Brawijaya IV Sri Prabu Wikramawardhana dari seorang selir putri Sunda bernama Citraresmi. Dari perkawinan itu lahir Ratu Puteri Suhita dan adiknya Dyah Kertawijaya yang kelak menjadi Sri Prabu Kertawijaya. Tidak ada penjelasan tentang siapa putri Sunda bernama Citraresmi itu kecuali cerita lisan keluarga bahwa putri yang menjadi leluhur keturunan Sri Prabu Kertawijaya itu adalah putri seorang Sunda bernama Sutraja. Senapati Sutraja yang dikisahkan gugur dalam peristiwa Bubat, rupanya meninggalkan seorang istri yang mengandung yang dijadikan abdi oleh Bhre Paguhan Singhawardhana, ayahanda dari Prabu Wikramawardhana.
Meski tidak ada catatan resmi tentang selir Prabu Wikramawardhana bernama Citraresmi yang melahirkan Ratu Stri Suhita dan Sri Kertawijaya, yang pasti nama Citraresmi, Suhita, dan Kertawijaya bukanlah nama yang lazim digunakan di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.Sumber lain yang berhubungan dengan orang-orang Sunda yang terkait peristiwa Bubat adalah silsilah genealogi keturunan Aria Damar Adipati Palembang. Dalam semua historiografi Jawa, disebutkan bahwa Aria Damar adalah putra Sri Prabu Kertawijaya dengan seorang perempuan bernama Endang Sasmitapura. Aria Damar dibesarkan oleh ibu dan uwaknya, Ki Kumbarawa di pertapaan Wanasalam (nama hutan di selatan Majapahit). Selama menjalankan tugas sebagai panglima perang Majapahit, Aria Damar dikisahkan memiliki empat istri. Dari istri bernama Sagung Ayu Tabanan lahir putra bernama Arya Jasan yang menurunkan raja-raja Tabanan di Bali.
Dari istri bernama Wanita lahir putra bernama Arya Menak Sunaya yang menurunkan raja-raja Madura. Dari istri bernama Nyi Sahilan lahir putra bernama Raden Sahun Pangeran Pandanarang yang menurunkan Semarang dan Sunan Tembayat. Dari istri Cina bernama Retno Subanci lahir putra bernama Raden Kusen yang setelah dewasa menjadi Adipati Terung yang menurunkan bupati-bupati di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.Dalam silsilah genealogi keturunan Aria Damar diperoleh penjelasan tentang kakek Aria Damar dari pihak ibu, yang bernama Kaki Palupa. Siapakah Kaki Palupa? Dalam cerita lisan dituturkan bahwa Kaki Palupa adalah seorang kepala prajurit Sunda yang selamat dari peristiwa pembunuhan Bubat karena memiliki ilmu bhairawa.
Kaki Palupa dikisahkan tinggal di hutan Wanasalam dan mendirikan pertapaan di sana. Dari pernikahan Kaki Palupa dengan Nyi Palupuy, lahir Ki Kumbarawa dan Endang Sasmitapura. Lepas dari benar dan tidaknya kisah tersebut dengan fakta sejarah, yang pasti nama Palupa, Palupuy, Kumbarawa, dan Endang Sasmitapura bukanlah nama yang lazim digunakan di Jawa pada masa Majapahit maupun masa sesudahnya.BERDASARKAN uraian singkat di atas, dapat ditarik sejumlah simpulan dari cerita yang berkaitan dengan peristiwa Bubat yang berhubungan dengan pelacakan jejak sejarah atas peristiwa tragis tersebut.Pertama, dalam peristiwa Bubat tidak semua pengiring Raja Sunda yang digelari nama anumerta Sri Maharaja Linggabhuwana Sang Mokteng Bubat tersebut, gugur. Sebagian mereka tinggal bersama keluarga raja Majapahit dan keluarga-keluarga keturunan Sunda yang tinggal di Majapahit semenjak masa Sri Kertarajasa -Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh yang berasal dari Kerajaan Sunda- merintis berdirinya Kerajaan Majapahit.
Kedua, dengan naik tahtanya Prabu Stri Suhita (Maharani Majapahit 1427 -1447) yang diteruskan Sri Prabu Kertawijaya (Maharaja Majapahit 1447-1451), tahta Majapahit yang ditegakkan orang Sunda bernama Raden Wijaya atau Jaka Sesuruh, kembali diduduki oleh raja-raja keturunan Sunda.Fakta historis terkait sisa peninggalan Prabu Stri Suhita yang ter-abadikan dalam wujud kompleks Candi Sukuh di kaki Gunung Lawu dan peninggalan Sri Prabu Kertawijaya dalam wujud kompleks Candi Cetho, menunjukkan ciri aneh yang sangat berbeda dengan candi-candi peninggalan Majapahit lain, baik dalam hal susunan, struktur, ragam hias, simbol-simbol ikonografis, jenis cerita relief, bahkan pantheon dewa-dewa yang justru menunjukkan kemiripan dengan arca Sanghyang Dengdek di Gunung Pu-lasari Banten, arca Caringin, arca Gunung Raksa, dan arca Pulau Panaitan.
Bernet Kempers (1959), Soek-mono (1973) dan Nigel Bullough (1995) yang tidak cukup mengetahui bahwa Suhita dan Kertawijaya berdarah Sunda, menyikapi keanehan yang terdapat pada Candi Sukuh dan Candi Cetho dengan simpulan bahwa pada era kedua maharaja kakak beradik itu, terdapat tanda-tanda kebangkitan kembali anasir animisme lama berupa pemujaan arwah leluhur.Ketiga, di antara puluhan silsilah genealogi yang dimiliki keluarga-keluarga bangsawan Jawa yang mengaku keturunan Majapahit, semuanya bertemu pada tokoh historis Sri Prabu Kertawijaya atau Brawijaya V, yang dalam sejumlah versi digambarkan memiliki 24 orang istri dan 117 orang putra dan putri.
Itu dapat disimpulkan, ibarat pepatah "mati satu tumbuh seribu", gugurnya Maharaja Sunda beserta rombongan dalam peristiwa Bubat, tidaklah melenyapkan sama sekali pengaruh Sunda di Majapahit, melainkan malah memunculkan Maharaja-maharaja Majapahit berdarah Sunda seperti Prabu Stri Suhita, Sri Prabu Kertawijaya beserta putra-putra dan cucu-cucunya seperti Bhre Wengker Hyang Pur-wawisesa (1456-1466), Bhre Pandan Salas (1466-1468), Sri Prabu Singha Wikramawarddhana (1468-1474), Sri Prabu Natha Girindrawarddhana (1478-1486).Bahkan, saat tahta Majapahit jatuh ke tangan Bhre Wijaya yang muncul dari garis keturunan Bhre Pamotan Sang Sinagara, kekuasaan Majapahit diakhiri oleh serangan yang dilakukan oleh putra dan cucu Sri Prabu Kertawijaya yang berkuasa di Demak Raden Patah dan Sultan Trenggana.

Tempat Suci Masa Majapahit I

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN MAJAPAHIT.
(foto1).Gapura Bajang Ratu Trowulan
Majapahit sebuah kerajaan  besar yang didirikan oleh Raden Wijaya pada tahun 1293 Masehi di sebuah hutan Trik yang diperkirakan berlokasi di Trowulan sekarang.(foto 1)
Sebuah kerajaan agro-maritim,  yang hidup dari pertanian dan perdagangan  sekaligus. (foto 2)
Berdasarkan data artefaktual, dan data tekstual yaitu prasasti, karya sastra Jawa Kuna/Jawa Tengahan, serta berita2 Cina, kerajaan ini berakhir sekitar abad XVI.
(foto2).Relief pada umpak di Trowulan, perempuan menanam padi
Keruntuhan kerajaan ini pertama disebabkan oleh perang saudara, perebutan kekuasaan, dan kedua karena bencana alam gunung meletus. Menurut penelitian Dr Sartono dan Bandono dari ITB (1995), setelah raja Hayam Wuruk wafat, telah terjadi delapan kali letusan gunung Kelud yang sangat merugikan kehidupan di Majapahit.
Sejarah Majapahit ini dimulai ketika Raden Wijaya, menantu raja Krtanagara raja terakhir kerajaan Singasari, menaklukkan raja Jayakatwang raja Kediri dengan bantuan Arya Wiraraja seorang petinggi Madura.

Selain alasan politik, Wijaya menyerang Jayakatwang, karena raja Kediri tersebut yang juga besan Krtanagara, telah menyerang dan membunuh raja Krtanagara ketika Krtanagara sedang melakukan upacara keagamaan dengan para pejabat Singasari dan agamawan kerajaan tersebut. Raden Wijaya kemudian diangkat menjadi raja pertama Majapahit dengan gelar Krtarajasa Jayawarddhana.  Ia mulai membentuk hegemoni Majapahit  dengan usaha legitimasi kedudukannya berdasarkan keterkaitannya dengan raja Krtanagara.

Dalam prasasti Gunung Penanggungan yang dikeluarkan atas perintah Wijaya tahun 1296 Masehi, dikatakan Krtarajasa Jayawarddhana mempunyai empat isteri, semuanya puteri Krtanagara (
sacaturbhrtr-patnika). Mereka adalah Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Prajnaparamita, dan Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri.
Awal kerajaan Majapahit ini ditandai oleh berbagai pembrontakan kepada tiga raja yang berturut-turut  memerintah. Pertama Wijaya setelah mendirikan Majapahit ingin memperluas kerajaannya namun terhalang oleh pembrontakan2 tersebut hingga ia wafat dan digantikan oleh puteranya, Jayanagara (1309-1328).

Jayanagara yang belum berputera ketika wafat kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh ratu Tribhuwanottungadewi Jayawisnuwarddhani (1328-1350), saudara perempuan Jayanagara. Berbagai pembrontakan ini dapat ditumpas olehMpu Mada atau Gajah Mada, seorang bhayangkari muda, dan di hadapan ratu Tribhuwana dan pejabat lainnya Mpu Mada ini mengucapkan  
sumpah palapa.

Demikian pula ia melontarkan gagasan politik Nusantara, yaitu akan menundukkan dan menyatukan daerah2 di bawah kekuasaan Majapahit.
Atas jasa2nya membasmi pembrontakan2 tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih di Daha, dan selanjutnya menjadi Mahapatih di Majapahit pada waktu pemerintahan raja Hayam Wuruk, raja keempat Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389.

Pada waktu pemerintahan raja Hayam Wuruk, Majapahit mencapai jaman keemasan, hegemoni Majapahit tetap dipertahankan, meski harus berusaha sendiri selama 25 tahun tanpa didampingi Gajah Mada yang telah meninggal tahun 1364.

Namun ketika Hayam Wuruk wafat tahun 1389, mulailah konflik internal perebutan kekuasaan, yang dimulai olehBhre Wirabhumi anak Hayam Wuruk dari selir. Ia telah mendapat daerah di Blambangan yang disebut “kedaton timur” namun kurang puas dan timbul persengketaan antara Bhre Wirabhumi melawan Wikramawarddhana di “kedaton barat”. Perang perebutan tahta ini dikenal sebagai 
perang paregreg, dengan kekalahan di fihak Bhre Wirabhumi. Selanjutnya, walaupun Bhre Wirabhumi  sudah gugur, peristiwa pertentangan keluarga ini belum reda, bahkan peristiwa terbunuhnya Bhre Wirabhumi telah menjadi benih dendam dan persengketaan keluarga terus menerus, hingga abad XVI.

Berakhirnya kerajaan Majapahit ini masih belum ada kesepakatan.  Menurut tradisi Babad dan kitab-kitab lain, jatuhnya Majapahit oleh raja2 Demak pada sekitar abad XV yang disebut dengan candrasengkala
 “sirna ilang kertaning bhumi” yang mempunyai arti 1400 Saka (1478 Masehi). Namun ternyata masih ada 4 prasasti Majapahityang disebut prasasti Jiu atau Trailokyapuri dari tahun 1486 Masehi dengan raja yang berkuasa Dyah Ranawijayayang bergelar Girindrawarddhana.

Demikian pula menurut tradisi Babad, raja-raja Majapahit disebut dengan nama Brawijaya I,II, III dan seterusnya, namun gelar-gelar tersebut tidak pernah dijumpai dalam prasasti-prasasti piagam resmi raja, maupun karya sastra Jawa Kuna/Jawa Tengahan. Gelar-gelar tersebut mungkin berasal dari perpaduan gelar kehormatan
(honorifix prefix) raja-raja Majapahit yaitu Bhatara yang disingkat Bhra atau Bhre (Bhra + i), dan Wijaya diambil dari nama raja Majapahit pertama yaitu Wijaya.
ADITYAWARMAN

Adityawarman dilahirkan dan dibesarkan di Majapahit pada masa pemerintahan Raden Wijaya (1294–1309). Menurut Pararaton, raja kedua Majapahit, yaitu Jayanagara, adalah putra Raden Wijaya yang lahir dari Dara Petak. Dengan demikian, hubungan antara Adityawarman dengan Jayanagara adalah saudara sepupu sesama cucu raja Melayu dari Kerajaan Dharmasraya. Dari versi lain, mereka disebutkan juga saudara seayah sesama anak Raden Wijaya alias Kertarajasa Jayawardana.
Dengan hubungan kekeluargaan yang begitu dekat, maka ketika Jayanagara menjadi raja, Adityawarman dikirim sebagai duta besar Majapahit untuk Cina selama dua kali yaitu pada tahun 1325 dan 1332. Dalam kronik Dinasti Yuan ia disebut dengan nama Sengk'ia-lie-yu-lan. Pengiriman utusan ini menunjukkan adanya usaha perdamaian antara Majapahit dengan bangsa Mongol, setelah terjadinya perselisihan dan peperangan pada masa Singhasari dan zaman Raden Wijaya.
Pada masa pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi (adik Jayanagara), Adityawarman diangkat sebagaiWreddhamantri, atau perdana menteri. Hal ini tersebut pada Prasasti Manjusri tahun 1343 yang menyatakan bahwa, Adityawarman selaku wreddhamantri menempatkan arca Mañjuçrī (salah satu sosok bodhisattva) di tempat pendarmaan Jina (Buddha) dan membangun candi Buddha (Candi Jago) di bhumi jawa untuk menghormati orang tua dan para kerabatnya. Dan sebelumnya namanya juga tercatat dalam prasasti Blitar yang bertarikh 1330 sebagai Sang Arya Dewaraja Mpu Aditya. Dari Piagam Bendasari terdapat istilah tanda rakryan makabehan yang menyatakan urutan jabatan di Majapahit setelah raja, dimana disebutkan secara berurutan dimulai dengan dengan jabatan wreddamantri sang aryya dewaraja empu Adityasang aryya dhiraraja empu Narayanarake mapatih ring Majapahit empu Gajah Mada, dan seterusnya. Jadi dengan demikian jelas terlihat kedudukan Adityawarman begitu sangat tinggi di Majapahit melebihi kedudukan dari Gajah Mada pada waktu itu.


(PETIKAN DI ATAS DIPETIK DARI BEBERAPA SUMBER YANG TERDAPAT DI PERPUSTAKAAN NASIONAL , JAKARTA INDONESIA DAN INI PERLU PENGKAJIAN YANG MENDALAM AGAR SETIAP SEJARAH YANG DILAKAR TIDAK ADA RALAT)

No comments:

Post a Comment